Halaman

Just Share What I Want To Share

Selasa, 12 Maret 2013

Maaf Yang Terlambat




Alunan musik dubstep memekakkan telinga dan membuyarkan mimpi indahku. Entah apa yang membuat mereka suka dengan musik semacam ini. Menurutku musik seperti ini terdengar bising dan sedikit membuat emosi.
“Ian, kelakuan emang ya lo! Gue lagi tidur enak-enak lo nyetel musik kencengnye Naudzubillah.”
“Ah payah nih selera musik lo Dik, musik macem ini itu bisa bikin pikiran lo fresh tanpa harus lo nge-drugs”, sanggah Ryan tak terima.
Memang, masalah selera bermusik antara aku dan Ryan tidak sama. Dari dulu jamannya masih pakai seragam putih merah sampai sekarang sudah sama-sama pakai almamater kuning kami selalu berbenturan. Dulu dia pernah suka musik Rock, lalu berganti jadi Reggae dan sekarang dia lebih suka musik yang beraliran Dubstep ini, sedangkan aku dari dulu sampai sekarang masih setia dengan musik Jazz. Ya walaupun selera musik kami berbeda tapi masalah wanita dan prinsip hidup bisa dibilang sama. Makanya hubunganku dengan Ryan awet sampai sekarang, ngga pernah putus. Hmm, maksudnya persahabatan aku dengan Ryan yang ngga pernah putus.
Matahari perlahan mulai menghilang di bawah garis cakrawala, menghantarkan sang bulan perlahan ke singgasana. Kamar-kamar kosan masih sepi dari penghuni. Hanya kamarku dan Ryan serta kamar milik Bang Boni yang menyala. Dengan headset yang menggelayuti telinganya, Ryan masih larut dengan dunianya sendiri. Sampai ia tidak mendengar deringan telepon genggamnya yang berisik itu.
“Heh Bro, hp lo noh bunyi. Cepet angkat, berisik tau”, protesku sambil membaca buku tentang psikologi.
Ryan masih diam. Masih sibuk tenggelam dalam dunianya.
“Ian, ada telepon noh. Orang rumah kayaknya”, ucapku sekali lagi sambil menepuk punggung Ryan.
“Hah, iya. Thanks, Bro!”. jawab Ryan sambil mengambil telepon genggamnya dari tanganku.
Seketika air muka Ryan berubah menjadi sendu, tetapi juga meggambarkan emosi. Tubuhnya yang kekar tiba-tiba menjadi lunglai tak berdaya. Aku tak mengerti pecakapan apa yang terjadi antara Ryan dan orang di ujung telepon sana, tapi yang pasti itu merupakan kabar buruk.
“Ian, ada apa?”
“Nyokap gue Dik”
“Oke, lo tenang dulu dan cerita sama gue”
“Nyokap gue masuk rumah sakit Dik, jantungnya kumat dan kata dokter dia lagi kritis sekarang. Gue takut terjadi hal buruk sama nyokap gue Dik”, ucap Ryan terbata.
“Kita harus ke rumah sakit sekarang Ian. Biar gue yang bawa mobil.”
Dengan pakaian seadanya aku segera bergegas. Tak lupa mengambil sehelai jaket yang cukup besar sekaligus mengambil kunci mobil dan payung. Di luar hujan deras. Aku menyetir perlahan ke arah rumah sakit. Keadaan jalanan sangat lengang hanya tampak satu atau dua buah unit kendaraan yang melintas. Sesekali aku melirik ke arah Ryan. Ketenangan yang jarang ku temukan pada dirinya yang ceria. Sepanjang perjalanan Depok-Tangerang, kami saling diam. Hanya sesekali aku mencoba untuk menguatkan hati sahabatku yang satu ini. Akhirnya roda mobilku terhenti tepat di area parkir rumah sakit di daerah Tangerang. Aku memarkir mobil di antara baris-baris mobil.
“Ian, kita udah sampe. Gue yakin tante Diana ga akan kenapa-kenapa kok”, ucapku sambil mencari-cari kamar rawat tante Diana.
“Semoga, Cuma dia Dik harta gue di dunia ini setelah bokap gue pergi ninggalin gue dulu.”
Aroma obat-obatan menusuk hidung kami bercampur dengan perasaan cemas. Kulihat Ryan nampak kedinginan, ia melipatkan kedua tangannya di depan dada. Tatapannya memburu, seakan-akan siap menerkam mangsa didepannya. Gejolak jiwa tak menentu, panik, cemas, takut bercampur menjadi satu. Akhirnya kami tiba di sebuah kamar yang bertuliskan “Kamar Melati 11”.
Kakiku lemas setibanya di sana melihat tante Diana terbujur kaku dengan tubuh diselimuti kain rumah sakit. Tangis Ryan tak terbendung lagi. Memang kebahagiaan beda tipis dengan duka. Terlihat beberapa sanak keluarga Ryan berkumpul dalam ruangan itu. Isak tangis menambah riuh hujan malam ini. Kulangkahkan kakiku keluar ruangan. Bersender di bawah pilar-pilar rumah sakit dan terduduk. Teputar kembali memori 3 tahun lalu. Tepat di mana aku berhasil mewujudkan mimpi kedua orang tuaku untuk berkuliah di salah satu universitas tertua di Indonesia, dengan almamater kuning yang menjadi kebanggaannya. Belum sempat aku melihat binar bahagia dari pancaran mata mereka, mereka sudah tertidur untuk selamanya. Bahkan sampai sekarang, aku tidak pernah tahu sosok manusia yang tidak bertanggung jawab yang telah menabrak mobil kedua orang tuaku. Kalau saja waktu itu aku bisa lebih bersabar dan tidak menyuruh mereka datang lebih cepat ke Tangerang pasti mereka masih hidup sampai sekarang.  Ironis memang, kehidupan di dunia ini bukan sepenuhnya milik manusia.
Aku menarik jaket erat-erat untuk menutupi tubuh yang mulai kedinginan. Aku mulai bangkit. Tak seharusnya bayangan masalalu melumatku hingga aku terlupa, Ryan sedang membutuhkan support-ku saat ini.  Aku segera beralari menuju kamar rawat tante Diana. Kupeluk tubuh Ryan. Tak peduli kelihatan seaneh apa kami berdua saat itu. Tubuh Ryan gemetar, air matanya terus mengalir. Namun bibirnya terkunci rapat.
“Lakukan yang lo mau dan rasakan apa yang lo rasa Ian. Ini semua yang terbaik buat nyokap lo”, bisikku.

***

Sudah seminggu kejadian itu berlalu, namun dia masih tetap seperti Ryan pada malam itu. Biasanya ia sangat ceria dan rajin menjawab pertanyaan yang di berikan oleh dosen, tapi kini ia hanya diam. Tatapannya kosong, jiwanya pergi menyelusuri angannya sendiri. Hanya ada raganya yang terpaku disampingku.
“Ian, mau sampai kapan lo begini?” Ryan menengok perlahan. Namun tatapannya tetap sama, kosong.
“Nggak tau, Dik. Gue masih ngerasa nyokap gue ada di sini,” jawabnya.
“Sampai kapan pun beliau akan selalu ada di sini Ian, lo harus bangkit.” Air mata Ryan pun meleleh kembali dari kedua buah pelupuk matanya yang layu.
Hari ini di kelasku kedatangan mahasiswi baru. Ia pindahan dari Bandung. Aira namanya. Tubuhnya sangat proporsional, kulitnya putih dan rambutnya panjang sebahu, untuk ukuran wanita ia sangat cantik. Ia duduk tepat di depan ku sehingga aku dapat menghirup dengan jelas aroma parfumnya. Kulihat ke arah Ryan, sepertinya biasa ia masih menyelami dunianya. Bahkan ia hanya menjawab dengan nada statis saat Aira menyapanya untuk berkenalan. Segera saja kutarik pergelangan tangan Aira yang mulus menjauhi Ryan.
“Dia temen gue namanya Ryan. Sorry ya dia lagi sedikit desperate setelah nyokapnya meninggal dunia seminggu yang lalu.”
“Oh ya? Gue turut berduka cita ya. By the way, nama lo siapa?”
“Gue Dika.”

Bersambung ke Maaf Yang Terlambat 2

Maaf Yang Terlambat 2




Lanjutan Maaf Yang Terlambat...
  
Sejak perkenalan pertama dengan Aira tiga bulan yang lalu, Ryan seperti mendapat hidup baru. Hubungan mereka semakin dekat dan kudengar mereka sudah berpacaran. Tak jarang Ryan bercerita tentang hubungan mereka hingga larut malam. Terkadang ada rasa iri yang terselip dihati, karena Ryan bisa lebih dulu memiliki Aira sedangkan aku hanya bisa mengikat perasaan ini untuk diriku sendiri.  
Aku berdiri dengan sebelah tangan menggengam ponsel, berusaha melawan statik yang sedari tadi membuat sambungan telepon putus-putus. Suara Ryan terdengar agak jauh, putus-putus karena sinyalnya tidak bagus.
“Lo dimana Dik?” ulang Ryan untuk yang ketiga kali.
“Hah? Masih di kosan. Kenapa?” aku mengulangi kata itu lagi  untuk yang kesekian kalinya.
“Lo tolong jemput Aira ya, Gue agak sedikit telat nih sampe cafe masih ada jam tambahan di kampus.”
“Oke.” Jawabku menyanggupi.
Sambungan terputus.
Honda Jazz-ku meluncur dengan lincah ke rumah Aira yang terletak di bilangan Jakarta Timur. Aku sudah hafal jalan menuju rumah Aira karena kami bertiga sering nongkrong bersama. Di pinggir jalan nampak seorang wanita dengan kostum regulernya; skinny jeans dan blouse peach lengkap dengan flat shoes kesayangannya. Aku membunyikan klakson sekali, membuat dia menyipit dengan ekspresi kaget, lalu bergegas masuk ke dalam mobil.
“Ryan nyuruh gue jemput lo.” kataku memberi kepastian.
“Iya, tadi dia udah bilang kok,” sahut Aira.
 Jalan ke arah café  sangat macet, mungkin karena ini malam minggu. Untuk mengisi kekosongan, aku memasukkan CD boyband asal Inggris-Irlandia itu ke CD Player.
“Wah lo juga suka lagu-lagunya One Direction?” celetuk Aira.
“Iya lumayan. Hehe.”
Puluhan mobil lain mengantre di depan lampu merah dan berlomba-lomba melewati kemacetan kota. Tak terasa, kami sudah memasuki parkiran cafe. Aku memarkir mobil di depan cafe. Ada gejolak hati yang aku rasakan, aku nyaman berada di dekat Aira.
Kami memilih tempat duduk yang berada di luar cafe. Alunan musik klasik dari dalam cafe membuatku semakin terenyuh bersama dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dada. Sudah empat bulan aku memendam rasa. Mengagumi dari kejauhan dan memasuki kehidupannya dengan mengendap-endap tanpa ada seorangpun yang tahu—termasuk Ryan. Aku duduk di depannya, ia memasang senyuman manis untukku, yang kurasa memang hanya untukku. Lagi, dengan cara mengendap-endap aku mencuri pandang hanya untuk melihat guratan sempurna garis tangan Tuhan di hadapanku ini. Matanya, alisnya, hidungnya, dan bibirnya semua terletak pada porsi yang pas, tutur katanya yang lembut juga membuat aku semakin jatuh hati padanya.
“Lo mau minum apa Dik?” tanya Aira membuyarkan lamunanku.
“Hah? Hmm lemon juice aja”, aku menjawab sedikit gugup.
Waitress itu kemudian pergi setelah puas mencatat pesanan kami. Dengan berani aku menggenggam lembut tangan Aira yang sedari tadi di atas meja. Kemudian mengungkapkan apa yang seharusnya di ungkapan, belum sempat Aira menjawab pertanyaanku tiba-tiba aku mendapatkan pukulan tepat di pelipis kananku—pukulan dari Ryan. Seketika saja aku merasa ada banyak bintang yang berotasi di atas kepalaku.
“Gue ga nyangka sahabat yang selama ini gue percaya ternyata nusuk gue dari belakang!”
“Sorry Ian, gue Cuma ngungkapin yang selama ini gue pendam aja.”
“Pergi lo sekarang Dik dan nanti malem gue bakal pindah dari kosan kita.”
Aku berjalan dengan langkah gontai, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Tindakan egoisku ini telah memutus tali persahabatanku dengan Ryan dan aku baru sadar, bahwa aku benar-benar sendiri sekarang ini tanpa Ryan di hidupku lagi. Kuinjak pedal gas dalam-dalam dan kupacu mobilku hingga kecepatan 180 Km/Jam. Namun nahas, mobil yang kukendarai hilang kendali dan menabrak pembatas jalan. Semua gelap dan aku tak sadarkan diri.
***
Dua bulan sudah setelah kejadian kecelakaan malam itu. Kini hidupku gelap. Kornea mataku rusak karena terkena benturan keras sehigga di perlukan donor kornea mata agar aku bisa kembali melihat lagi. Keberadaan Ryan pun tidak pernah aku ketahui lagi. Hanya sesekali Aira datang ke rumah sakit untuk menjengukku. Seandainya waktu bisa diputar dan aku tidak pernah melakukan tindakan bodoh malam itu pasti hal ini tidak akan terjadi; Ryan masih disini, disampingku.
Tuhan memang baik, setelah dua bulan menunggu akhirnya aku mendapatkan donor kornea mata; tanpa aku pernah tahu siapa yang orang yang berhati malaikat itu hingga kini. Ryan benar-benar menghilang. Bahkan saat aku bertanya tentangnya di kampus pun tidak ada yang mengetahuinya. 
“Dik, lo nyari Ryan ya? Ini gue punya sesuatu buat lo”, kata Aira dengan wajah layu.
“Surat?”
“Gue harap lo bisa ikhlas Dik.”
“Ikhlas? Apa yang terjadi Ra?”
“Lo baca aja dulu tulisan Ryan buat lo”, jawab Aira sambil menahan tangis.



“Hey Dik..
Mungkin pada saat lo baca surat ini gue udah pergi. Ada kanker Dik, di kepala gue dan maafin gue karena selama ini gue ga pernah cerita ke lo, maafin juga kalo malam itu gue tonjok pelipis lo sampe biru, dan jujur gue nyesel. Gue makin hancur ketika gue denger kabar lo kecelakaan dan lo ga bisa melihat lagi. Karena itu gue putuskan buat mendonorkan mata gue untuk menebus kesalahan gue malam itu sama lo. Gue mau ketemu sama mama papa, lagipula gue udah cape Dik hidup bersama rasa sakit di kepala gue ini terlebih kemotrapi yang menyakitkan itu udah merontokkan rambut gue, kan gue jadi kalah ganteng dari lo hehe.
Sekarang lo udah bisa ngeliat lagi kan? Gue minta, tolong lo jagain Aira ya. Ternyata dia itu juga sayang sama lo, Dik. Malam itu pas lo udah pergi Aira bilang ke gue kalo dia juga punya perasaan yang sama dengan lo. Lo ga usah cari gue lagi, gue udah punya hidup baru disini dan gue seneng sekarang gue udah jadi bagian dari dunia lo. Lo jaga diri baik-baik ya. Lo sahabat terbaik gue sampai kapanpun. See ya.. sampai ketemu lagi bro! B)”

-Ryan-

Duniaku terasa hancur, bahkan kedua lututku terasa lunglai. Hatiku terkoyak membaca surat terakhir dari Ryan, seperti di rajam ribuan pedang sakitnya. Air mata tak terbendung lagi. Aku berjongkok memeluk lutut, berharap ini merupakan mimpi dan aku ingin segera terbangun dari mimpi ini. Dia sahabat yang tidak hanya menolong hidupku satu kali tapi berkali-kali, bukanlah dia yang seharusnya meminta maaf tapi akulah yang meminta maaf tidak pernah mengerti betapa dia adalah sahabat sejati dalam hidupku, aku terlalu egois, mementingkan keinginanku sendiri.
***
Ryan, terimakasih atas kehidupan kedua yang telah kau berikan melalui matamu ini. Terimakasih pula kau telah memberiku sosok bidadari sempurna ini untukku—Aira. Kini aku telah memiliki satu jagoan kecil, ia mirip sekali denganmu dan aku mengabadikan namamu untuknya. Ryan, ia bukan hanya seorang sahabat yang telah mengajarkanku tentang arti cinta kasih, tentang sebuah pengorbanan dan kehidupan tetapi ia merupakan bagian dari hidupku hingga nanti.
           

Depok, Maret 2013
Wahyu Alviani J

Selasa, 19 Februari 2013

Pelangi Di Ujung Senja




Gelegar petir membangunkan aku dari rentetan sekenario mimpi burukku. Mimpi yang selalu menarikku kedalam lubang masalalu. Selalu saja mimpi yang sama. Seakan membentuk suatu alur cerita dengan ribuan episode yang tak kunjung selesai. Ingin rasanya aku berlari senjauh mungkin, berlari dan terus berlari untuk melepaskan diri dari jeratan masalalu yang kelam ini. Melangkah ditemani oleh bayang-bayang masalalu seakan mencambukku dengan tali berduri. Aku lelah Tuhan, beri aku sedikit saja ruang untuk bernafas.

***
Sore itu hujan lagi, orang-orang berlalu-lalang mencari tempat untuk berteduh. Suara Pak Regar masih terngiang ditelinga, gaya bicaranya yang kental dengan aksen Batak menambah kesangaran wajahnya. Ia merupakan dosen Computer Network. Iya, aku merupakan salah satu mahasiswi yang berkutat dijurusan IT di salah satu perguruan tinggi negri di Depok. Biasanya mata kuliah ini berakhir jam 15.00 wib, tapi entah mengapa hari ini beliau sangat betah didalam kelasku. Mungkin karena banyak penggila jaringan komputerisasi dikelasku.
Sisa-sisa tangisan langit masih membekas, dengan hati-hati kuseret kedua kakiku melangkah menelusuri jalan menuju satu ruangan sempit tempat dimana aku tinggal sekarang. Rutinitas yang membosankan, berangkat lalu pulang. Mengapa manusia harus hidup dengan terjadwal? Ya mungkin itu salah satu hal untuk membedakan kaum kami dengan hewan. Jalanan sangat licin dan genangan air berceceran disetiap lubang jalan. Hingga akhirnya aku merasa ada sesuatu yang menubrukku begitu keras, sakit. Gelap.
***
“Hey, are you fine?”
Samar-samar kulihat sesosok pria dengan wajah paniknya, namun masih terlihat tampan. Tercium pula aroma obat-obatan yang sangat menusuk. Rumah sakit, sepertinya aku disana.
“Gue kenapa ya? Duh ini kenapa kaki kanan gue ga bisa digerakin gini?”
“Sorry, tadi ga sengaja mobil gue nabrak lo. Lagian sih lo jalan ga pake tengok kanan-kiri.”
“Kok nyalahin gue sih? Lo tuh yang ngendarain mobilnya ngebut ga pake rem, jadi nabrak gue kan. Huh!”, suaraku mulai meninggi.
“Iya,iya maaf. Untung lo ga kenapa-kenapa, cuma shock aja kata dokter. Hmm kaki lo juga cuma kekilir aja kok.”
“Awas aja yah kalo sampe gue ga bisa jalan, lo gue tuntut!”, jawabku jutek.
“Iya manis, gue tanggung jawab kok. Percaya deh sama gue, lo gpp”, katanya sambil menyunggingkan senyuman termanisnya. Kurasa.
“Lo anak UI juga? Fakultas apa?”, tanyaku dengan emosi yang sudah sedikit mereda.
“Arsitektur, lo?”
“IT”, jawabku tak kalah singkat.
“Hmm, kata dokter lo udah boleh pulang. Gue anter ya, anggap aja sebagai bentuk penebus dosa.”
“Bukannya itu sebuah keharusan? Gue nge-kost di daerah Kutek.”
Gemerlap lampu kota sudah tak nampak lagi, jalanan pun sudah sangat sepi. Aku melihat sesuatu yang melingkarkan diri dipergelangan tanganku sudah tepat pukul 23.00 wib. Pantas saja hanya cahaya lampu beberapa warung remang saja yang nampak disisi jalan.
“Hey, kok diem? Udah sampe nona.”
“Hah? Oh iya, sorry gue ngelamun hehe.”
“Udah ga usah mikirin gue gitu ah, sini gue bantu turun”, katanya sambil memapahku keluar dari mobil.
“Ih ge-er deh lo, tapi makasih ya”, kataku sambil  melemparkan senyuman.
“Yaudah, sampai kamar lo istirahat ya. Sampai ketemu besok pagi”, jawabnya seraya pergi menuju Honda Jazz miliknya.
Akhirnya aku bisa merebahkan diri diatas kasur sempitku lagi. Kulihat kaki kananku yang terbalut perban dan gips. Entah mengapa hari ini berjalan sangat aneh, aku tertabrak dan bertemu dengan lelaki aneh seperti dia tadi yang bahkan aku tidak tahu namanya siapa. Hey, apa dia bilang? Sampai bertemu besok pagi? Apa dia akan datang menjemputku? Ah entah lah aku sangat lelah hari ini. Rasa kantuk pun sudah menyerang, aku rasa ini waktunya untuk pergi kedunia mimpi.
***
Hawa panas mulai menembus cela-cela selimutku. Samar-samar kubuka mataku dan kugapai jam weker disamping tempat tidurku. Tepat pukul 7.00 wib, dan aku baru ingat kalau hari ini ada kelas tepat pukul 8.00 wib. “Mati gue!”, tukasku seraya mengambil handuk lalu menuju kamar mandi. Kaki kananku cukup menjadi penghalang kali ini. Setelah siap aku segera memasukkan buku kedalam tas kemudian berangkat menuju kampus. Sesampainya digerbang kosan ada seseorang yang mengagetkanku.
“Hey manis, kasian banget jalannya diseret-seret gitu. Bareng gue aja yuk.”
“Heh lo lagi, ngapain?”, jawabku kesal.
“Kan gue mau tanggung jawab, gue anter ya. Kita satu kampus ini. Ayo naik.”
“Hmm yaudah deh, gue juga udah telat”, jawabku singkat sambil masuk kedalam mobilnya.
By the way, kita belum kenalan ya? Gue Ryan, nama lo siapa manis?”
Please, stop panggil gue dengan embel-embel seperti itu, gue Naya”, protesku.
“Haha suka-suka gue dong, tapi emang lo manis kok”, katanya sambil tersenyum.
Seperti tersengat aliran listrik, mendadak ada sesuatu yang lain dalam tubuhku. Oh Tuhan, perasaan macam apa ini, rasa yang tak pernah kurasa sebelumnya. Entah mengapa tiba-tiba pipiku terasa panas. Dan jantung ini berdetak tak beraturan, seperti ingin keluar dari tempat persembunyiannya. Tatapannya, senyumannya, semua pada porsi yang pas. Kulitnya yang putih membuat alis matanya yang tebal nampak lebih nyata. Dia memang tampan, harus kuakui itu.
“Hey, kok ngelamun sih? Jangan bilang lo terpesona sama gue haha. Udah sampe nih, mau sampe kapan ngelamunnya hayo?”
“Ih ngagetin aja, lo ge-er banget sih. Udah ah gue mau turun, thanks.”
“Nanti pulangnya gue jemput ya Nay. Lo selesai kelas jam berapa?”
“Jam 11.00, udah ya gue telat.”
Pelajaran Database memang selalu membuat otakku bekerja lebih keras, namun entah mengapa hari ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan pelajaran yang satu ini. Sepanjang pelajaran hanya pria itu yang berotasi dipikiranku. Wajahnya, tatapannya semua tergambar dengan sempurna didalam pikiranku. Ryan, nama yang keren. Ya, cukup selaras dengan parasnya. Rasa-rasanya aku sudah mulai tertarik dengan pria yang satu ini, mungkin aku suka.
Tak terasa sudah 2 jam aku menjelajahi pikiranku sendiri. Dikelas pun hanya tinggal aku dan segelintir orang yang tertinggal. Lagi-lagi keadaan langit sedang murung. Aku segera bergegas merapikan buku dan pulang. Dengan pelan-pelan kuseret kaki kananku yang masih terbalut perban dan gips menuju halaman luar kampus.
“Hey, manis. Lama banget, gue udah lumutan nih nunggu lo”, Lagi-lagi suara itu mengagetkanku
“Lo lagi, kenapa sih ngagetin gue terus?”, jawabku kesal.
Sorry, yaudah naik sini. Apa perlu gue bantu?”
“Gue ga mau bareng lo ah, gue bisa pulang sendiri.”
“Nay, kan gue janji sama lo buat tanggung jawab sampe lo sembuh. Gue laper nih, lo juga pasti belum makan kan?”
“Iya deh gue nurut.”
Honda Jazz milik Ryan melaju dengan cepat, lagu-lagu dari One Direction menemani perjalanan kami siang ini. Seperti biasa jalanan didaerah Margonda selalu padat, ditambah lagi sekarang merupakan jam makan siang. Baik mahasiswa atau pun karyawan berburu makanan di daerah ini. Bunyi klakson saling bersahutan dengan suara pengamen jalanan. Sungguh kota yang tak pernah mati.
Diam-diam kutelurusuri lagi setiap jengkal dari wajahnya, alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya, sampai dagunya membentuk guratan yang sempurna. Sekali lagi harus kuakui, dia memang tampan. Namun sikapnya yang konyol itu bagiku membuat kharismanya berkurang hingga 50 persen. Ah entahlah, bisa meledak otakku bila terus-terusan memikirkannya.
“Hey, ngapain ngeliatin gue gitu? Naksir loh nanti haha.”
“Apaan sih lo, orang gue lagi ng.. ngeliatin pengamen itu tuh”, sanggahku sambil menunjuk pengamen kecil di pinggir jalan.
“Ah masaa? Udah ngaku aja sih Nay”, Godanya.
“Ngga!”, Jawabku ketus.
“Hmm, yaudah deh. By the way keadaan kaki lo gimana sekarang?.”
“Udah mendingan sih, Cuma masih agak ngilu aja. Besok juga udah bisa dibuka nih perbannya.”
“Nay, gue..”
“Lo kenapa?”
“Gpp deh. Ini kita udah sampai.”
Dengan lincah Ryan memarkirkan Jazz miliknya di area parkir KFC. Kemudian ia turun dan membukakan pintu untukku laksana permaisuri. Hmm, agak lebay sih.
Thanks ya, besok ga usah repot-repot bukain pintu buat gue. Gue bisa sendiri kok.”
“Gpp kok nona manis, ini kan gue yang mau”,  katanya sambil mengeluarkan tinggah konyolnya lagi.
“Terserah deh”.
“Lo makin jutek, makin manis deh. Jadi makin..”
“Udah deh ga usah aneh-aneh, ayo kita masuk. Gue udah laper nih”
“Oke, Ladies first.
Setelah kami memesan makanan, kuputuskan untuk memilih tempat duduk yang dekat dengan kaca. Entah mengapa aku suka saja melihat susana diluar sambil menikmati makanan, apalagi diluar sedang mendung. Pasti sebentar lagi langit akan memuntahkan cairan tubuhnya ke bumi. Kusadari ada sepasang mata yang sedang menyorotiku sejak tadi. Sinar mata yang memancarkan rasa yang terpendam, seakan ingin berteriak untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Ya, mata itu milik Ryan.
Tuhan, mengapa lagi-lagi rasa ini muncul kembali. Rasa dimana jantungku terasa berdetak lebih kencang, pipiku terasa panas, dan entah kenapa kursi ini membuat aku mematung hingga tak bisa kemana-mana. Apa mungkin aku jatuh hati dengan pria selengean macam Ryan? Padahal Ryan hanya duduk diam disana. Tapi kenapa aku  jadi salting gini. Absurd.
“Nay, gue sayang sama lo. Gue ngerasa ada suatu yang lain sejak pertama kita bertemu.”
Dengan mudah kalimat itu keluar dari mulut Ryan, speehless.
“Nay, Will you be my gir? I’ll waiting for you kok”, ucapnya seraya memegang tanganku.
Oh Gosh, apa yang harus aku perbuat Tuhan? Tatapannya, senyumannya seakan menikamku sehingga aku tak dapat bergerak. Apa aku harus menerima cintanya? Atau aku tetap memperjuangkan gengsiku untuk tidak menyukai laki-laki selengean macam dia. That’s very complicated. Bahkan lebih rumit dari soal-soal algoritma. Ngga, aku harus jujur kalo aku suka sama dia juga.
“Gue mau Ian”, jawabku singkat.
“Maksudnya?”
I wanna be your girl.
“Makasih ya Nay, gue seneng lo mau nerima gue. Gue sayaaaaang banget sama lo haha.”
“Udah ih malu, itu diliatin orang-orang”, jawabku cuek.
I don’t care, yang penting lo jadi milik gue sekarang”, katanya sambil menciumi punggung tanganku.

***
Tiga tahun sudah berlalu setelah kejadian tembak-menembak siang itu, hari ini tepat hari jadi kami yang ke-3 tahun. Rencananya aku ingin membuat kejutan untuk Ryan malam ini. Ryan sangat menyukai Tiramisu. Dengan kemampuan seadanya dan hanya dibantu oleh secarik kertas yang berisi resep yang aku dapat dari internet, aku  memberanikan diri untuk membuat makanan kesukaan Ryan. Walaupun hasilnya tidak terbentuk dengan sempurna. Dengan paduan hiasan yang sedikit abstrak dan rasa yang terlalu manis, aku berharap Ryan menyukai ini. Kemudian kuletakkan hasil buah tanganku itu kedalam kotak berbentuk hati dengan tutup terbalut pita.
Tepat pukul 07.00 malam, dengan wajah berseri kulangkahkan kakiku menuju taksi. Rumah Ryan terletak dibilangan Jakarta Timur. Selama diperjalanan aku selalu membayangkan  wajahnya, dengan harapan Ryan akan menyukai kejutanku malam ini. Seperti biasa, bukan Jakarta namanya kalau tidak macet. Alhasil hampir satu jam aku baru sampai didepan rumah Ryan. Rumahnya nampak sepi, hanya terdengar gemercik air kolam.  Dengan sangat antusias kutekan tombol bel di dinding rumahnya itu berkali-kali, tak lama kemudian Bi Onah salah satu asisten rumah tangga dirumah ini keluar untuk membukakan aku pintu.
“Eh Non Naya. Masuk Non.”
“Makasih ya Bi. Mas Ryan-nya ada?”
“Ada kok Non  di taman belakang, tapi Non..”
“Tapi apa Bi? Yaudah saya buru-buru nih, saya kesana dulu ya Bi.”
Karena sudah tidak sabar ingin bertemu Ryan, aku tidak terlalu menghiraukan kalimat Bi Onah yang terdengar menggantung tadi. Sesampainya aku di taman bukan hanya sosok Ryan yang aku dapat, tetapi ada sosok seorang perempuan berambut panjang yang mengenakan dress berwarna pastel, nampak serasi dengan flat shoes yang ia kenakan sedang memeluk Ryan.
Seperti disambar petir, tubuhku seketika tak berdaya. Lumpuh. Tanpa kusadari bulir-bulir air mata jatuh bersamaan dengan kepingan-kepingan hati yang berhamburan. Langsung saja aku pergi, tak peduli dengan kejutan yang akan kuberikan untuk Ryan yang kini telah berhamburan pula di tanah.
“Naya! Tunggu Nay dengerin penjelasan aku dulu.”
Sayangnya lari ku tak secepat Ryan, dengan cepat ia menarik tanganku agar aku berhenti.
“Apa lagi yang mau dijelasin? Aku udah liat semuanya. Tega ya kamu ngelakuin ini dihari Anniversary kita yang ke-3 tahun. Oiya, maaf kejutan yang mau aku kasih ke kamu jatuh tadi, hmm itu aku bikin sendiri loh hehe. Kamu have fun ya sama dia, kita putus.”
“Nay tapi itu ga seperti yang kamu lihat, dia mantan aku yang baru pulang dari Aussie. Aku juga ngga tahu kalo dia bakal peluk aku duluan tadi.”
“Jujur sama aku, kamu masih sayang kan sama dia?”
“Aku...Aku gatau Nay, aku sayang kamu tapi..”
“Whatever, kita putus! Bye”.
***
Masih terasa hangat ingatan tentang kejadian tiga tahun lalu itu. Namun kini tak seharusnya aku masih memutar kenangan-kenangan itu kembali. Kenangan yang telah terkoyak dengan siletan luka yang mendalam. Ketika aku melihat sosok pria dengan badan yang atletis berpelukan dengan seorang wanita tepat dihari jadi kami yang ke-3 tahun, dua bulan yang lalu. Sosok pria yang menghiasi hariku hingga tiga tahun ini telah menghianati aku. Pria yang telah meyakinkan aku untuk menggantungkan impian dan harapan masa depan bersama. Namun kini dia sendiri yang telah memupuskan itu semua.
Sakit memang, tapi ini adalah rentetan sekenario yang telah ditulis Tuhan untukku. Rasa sakit mengajarkan aku untuk menunggu dengan sabar pembuktian dari Tuhan bahwa ada kebahagian-kebahagian lain yang telah Dia siapkan nanti. Tak mungkin ada pelangi tanpa hujan sebelumnya. Seperti Ryan, kehadirannya bagai buliran-buliran air hujan yang jatuh ke bumi. Hanya sesaat, tetapi meninggalkan goresan kenangan yang mendalam. Begitupula kebahagiaan, ia datang bagaikan pelangi di ujung senja; sederhana.


Februari 2013,

Wahyu Alviani