Halaman

Just Share What I Want To Share

Selasa, 12 Maret 2013

Maaf Yang Terlambat




Alunan musik dubstep memekakkan telinga dan membuyarkan mimpi indahku. Entah apa yang membuat mereka suka dengan musik semacam ini. Menurutku musik seperti ini terdengar bising dan sedikit membuat emosi.
“Ian, kelakuan emang ya lo! Gue lagi tidur enak-enak lo nyetel musik kencengnye Naudzubillah.”
“Ah payah nih selera musik lo Dik, musik macem ini itu bisa bikin pikiran lo fresh tanpa harus lo nge-drugs”, sanggah Ryan tak terima.
Memang, masalah selera bermusik antara aku dan Ryan tidak sama. Dari dulu jamannya masih pakai seragam putih merah sampai sekarang sudah sama-sama pakai almamater kuning kami selalu berbenturan. Dulu dia pernah suka musik Rock, lalu berganti jadi Reggae dan sekarang dia lebih suka musik yang beraliran Dubstep ini, sedangkan aku dari dulu sampai sekarang masih setia dengan musik Jazz. Ya walaupun selera musik kami berbeda tapi masalah wanita dan prinsip hidup bisa dibilang sama. Makanya hubunganku dengan Ryan awet sampai sekarang, ngga pernah putus. Hmm, maksudnya persahabatan aku dengan Ryan yang ngga pernah putus.
Matahari perlahan mulai menghilang di bawah garis cakrawala, menghantarkan sang bulan perlahan ke singgasana. Kamar-kamar kosan masih sepi dari penghuni. Hanya kamarku dan Ryan serta kamar milik Bang Boni yang menyala. Dengan headset yang menggelayuti telinganya, Ryan masih larut dengan dunianya sendiri. Sampai ia tidak mendengar deringan telepon genggamnya yang berisik itu.
“Heh Bro, hp lo noh bunyi. Cepet angkat, berisik tau”, protesku sambil membaca buku tentang psikologi.
Ryan masih diam. Masih sibuk tenggelam dalam dunianya.
“Ian, ada telepon noh. Orang rumah kayaknya”, ucapku sekali lagi sambil menepuk punggung Ryan.
“Hah, iya. Thanks, Bro!”. jawab Ryan sambil mengambil telepon genggamnya dari tanganku.
Seketika air muka Ryan berubah menjadi sendu, tetapi juga meggambarkan emosi. Tubuhnya yang kekar tiba-tiba menjadi lunglai tak berdaya. Aku tak mengerti pecakapan apa yang terjadi antara Ryan dan orang di ujung telepon sana, tapi yang pasti itu merupakan kabar buruk.
“Ian, ada apa?”
“Nyokap gue Dik”
“Oke, lo tenang dulu dan cerita sama gue”
“Nyokap gue masuk rumah sakit Dik, jantungnya kumat dan kata dokter dia lagi kritis sekarang. Gue takut terjadi hal buruk sama nyokap gue Dik”, ucap Ryan terbata.
“Kita harus ke rumah sakit sekarang Ian. Biar gue yang bawa mobil.”
Dengan pakaian seadanya aku segera bergegas. Tak lupa mengambil sehelai jaket yang cukup besar sekaligus mengambil kunci mobil dan payung. Di luar hujan deras. Aku menyetir perlahan ke arah rumah sakit. Keadaan jalanan sangat lengang hanya tampak satu atau dua buah unit kendaraan yang melintas. Sesekali aku melirik ke arah Ryan. Ketenangan yang jarang ku temukan pada dirinya yang ceria. Sepanjang perjalanan Depok-Tangerang, kami saling diam. Hanya sesekali aku mencoba untuk menguatkan hati sahabatku yang satu ini. Akhirnya roda mobilku terhenti tepat di area parkir rumah sakit di daerah Tangerang. Aku memarkir mobil di antara baris-baris mobil.
“Ian, kita udah sampe. Gue yakin tante Diana ga akan kenapa-kenapa kok”, ucapku sambil mencari-cari kamar rawat tante Diana.
“Semoga, Cuma dia Dik harta gue di dunia ini setelah bokap gue pergi ninggalin gue dulu.”
Aroma obat-obatan menusuk hidung kami bercampur dengan perasaan cemas. Kulihat Ryan nampak kedinginan, ia melipatkan kedua tangannya di depan dada. Tatapannya memburu, seakan-akan siap menerkam mangsa didepannya. Gejolak jiwa tak menentu, panik, cemas, takut bercampur menjadi satu. Akhirnya kami tiba di sebuah kamar yang bertuliskan “Kamar Melati 11”.
Kakiku lemas setibanya di sana melihat tante Diana terbujur kaku dengan tubuh diselimuti kain rumah sakit. Tangis Ryan tak terbendung lagi. Memang kebahagiaan beda tipis dengan duka. Terlihat beberapa sanak keluarga Ryan berkumpul dalam ruangan itu. Isak tangis menambah riuh hujan malam ini. Kulangkahkan kakiku keluar ruangan. Bersender di bawah pilar-pilar rumah sakit dan terduduk. Teputar kembali memori 3 tahun lalu. Tepat di mana aku berhasil mewujudkan mimpi kedua orang tuaku untuk berkuliah di salah satu universitas tertua di Indonesia, dengan almamater kuning yang menjadi kebanggaannya. Belum sempat aku melihat binar bahagia dari pancaran mata mereka, mereka sudah tertidur untuk selamanya. Bahkan sampai sekarang, aku tidak pernah tahu sosok manusia yang tidak bertanggung jawab yang telah menabrak mobil kedua orang tuaku. Kalau saja waktu itu aku bisa lebih bersabar dan tidak menyuruh mereka datang lebih cepat ke Tangerang pasti mereka masih hidup sampai sekarang.  Ironis memang, kehidupan di dunia ini bukan sepenuhnya milik manusia.
Aku menarik jaket erat-erat untuk menutupi tubuh yang mulai kedinginan. Aku mulai bangkit. Tak seharusnya bayangan masalalu melumatku hingga aku terlupa, Ryan sedang membutuhkan support-ku saat ini.  Aku segera beralari menuju kamar rawat tante Diana. Kupeluk tubuh Ryan. Tak peduli kelihatan seaneh apa kami berdua saat itu. Tubuh Ryan gemetar, air matanya terus mengalir. Namun bibirnya terkunci rapat.
“Lakukan yang lo mau dan rasakan apa yang lo rasa Ian. Ini semua yang terbaik buat nyokap lo”, bisikku.

***

Sudah seminggu kejadian itu berlalu, namun dia masih tetap seperti Ryan pada malam itu. Biasanya ia sangat ceria dan rajin menjawab pertanyaan yang di berikan oleh dosen, tapi kini ia hanya diam. Tatapannya kosong, jiwanya pergi menyelusuri angannya sendiri. Hanya ada raganya yang terpaku disampingku.
“Ian, mau sampai kapan lo begini?” Ryan menengok perlahan. Namun tatapannya tetap sama, kosong.
“Nggak tau, Dik. Gue masih ngerasa nyokap gue ada di sini,” jawabnya.
“Sampai kapan pun beliau akan selalu ada di sini Ian, lo harus bangkit.” Air mata Ryan pun meleleh kembali dari kedua buah pelupuk matanya yang layu.
Hari ini di kelasku kedatangan mahasiswi baru. Ia pindahan dari Bandung. Aira namanya. Tubuhnya sangat proporsional, kulitnya putih dan rambutnya panjang sebahu, untuk ukuran wanita ia sangat cantik. Ia duduk tepat di depan ku sehingga aku dapat menghirup dengan jelas aroma parfumnya. Kulihat ke arah Ryan, sepertinya biasa ia masih menyelami dunianya. Bahkan ia hanya menjawab dengan nada statis saat Aira menyapanya untuk berkenalan. Segera saja kutarik pergelangan tangan Aira yang mulus menjauhi Ryan.
“Dia temen gue namanya Ryan. Sorry ya dia lagi sedikit desperate setelah nyokapnya meninggal dunia seminggu yang lalu.”
“Oh ya? Gue turut berduka cita ya. By the way, nama lo siapa?”
“Gue Dika.”

Bersambung ke Maaf Yang Terlambat 2

Maaf Yang Terlambat 2




Lanjutan Maaf Yang Terlambat...
  
Sejak perkenalan pertama dengan Aira tiga bulan yang lalu, Ryan seperti mendapat hidup baru. Hubungan mereka semakin dekat dan kudengar mereka sudah berpacaran. Tak jarang Ryan bercerita tentang hubungan mereka hingga larut malam. Terkadang ada rasa iri yang terselip dihati, karena Ryan bisa lebih dulu memiliki Aira sedangkan aku hanya bisa mengikat perasaan ini untuk diriku sendiri.  
Aku berdiri dengan sebelah tangan menggengam ponsel, berusaha melawan statik yang sedari tadi membuat sambungan telepon putus-putus. Suara Ryan terdengar agak jauh, putus-putus karena sinyalnya tidak bagus.
“Lo dimana Dik?” ulang Ryan untuk yang ketiga kali.
“Hah? Masih di kosan. Kenapa?” aku mengulangi kata itu lagi  untuk yang kesekian kalinya.
“Lo tolong jemput Aira ya, Gue agak sedikit telat nih sampe cafe masih ada jam tambahan di kampus.”
“Oke.” Jawabku menyanggupi.
Sambungan terputus.
Honda Jazz-ku meluncur dengan lincah ke rumah Aira yang terletak di bilangan Jakarta Timur. Aku sudah hafal jalan menuju rumah Aira karena kami bertiga sering nongkrong bersama. Di pinggir jalan nampak seorang wanita dengan kostum regulernya; skinny jeans dan blouse peach lengkap dengan flat shoes kesayangannya. Aku membunyikan klakson sekali, membuat dia menyipit dengan ekspresi kaget, lalu bergegas masuk ke dalam mobil.
“Ryan nyuruh gue jemput lo.” kataku memberi kepastian.
“Iya, tadi dia udah bilang kok,” sahut Aira.
 Jalan ke arah café  sangat macet, mungkin karena ini malam minggu. Untuk mengisi kekosongan, aku memasukkan CD boyband asal Inggris-Irlandia itu ke CD Player.
“Wah lo juga suka lagu-lagunya One Direction?” celetuk Aira.
“Iya lumayan. Hehe.”
Puluhan mobil lain mengantre di depan lampu merah dan berlomba-lomba melewati kemacetan kota. Tak terasa, kami sudah memasuki parkiran cafe. Aku memarkir mobil di depan cafe. Ada gejolak hati yang aku rasakan, aku nyaman berada di dekat Aira.
Kami memilih tempat duduk yang berada di luar cafe. Alunan musik klasik dari dalam cafe membuatku semakin terenyuh bersama dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dada. Sudah empat bulan aku memendam rasa. Mengagumi dari kejauhan dan memasuki kehidupannya dengan mengendap-endap tanpa ada seorangpun yang tahu—termasuk Ryan. Aku duduk di depannya, ia memasang senyuman manis untukku, yang kurasa memang hanya untukku. Lagi, dengan cara mengendap-endap aku mencuri pandang hanya untuk melihat guratan sempurna garis tangan Tuhan di hadapanku ini. Matanya, alisnya, hidungnya, dan bibirnya semua terletak pada porsi yang pas, tutur katanya yang lembut juga membuat aku semakin jatuh hati padanya.
“Lo mau minum apa Dik?” tanya Aira membuyarkan lamunanku.
“Hah? Hmm lemon juice aja”, aku menjawab sedikit gugup.
Waitress itu kemudian pergi setelah puas mencatat pesanan kami. Dengan berani aku menggenggam lembut tangan Aira yang sedari tadi di atas meja. Kemudian mengungkapkan apa yang seharusnya di ungkapan, belum sempat Aira menjawab pertanyaanku tiba-tiba aku mendapatkan pukulan tepat di pelipis kananku—pukulan dari Ryan. Seketika saja aku merasa ada banyak bintang yang berotasi di atas kepalaku.
“Gue ga nyangka sahabat yang selama ini gue percaya ternyata nusuk gue dari belakang!”
“Sorry Ian, gue Cuma ngungkapin yang selama ini gue pendam aja.”
“Pergi lo sekarang Dik dan nanti malem gue bakal pindah dari kosan kita.”
Aku berjalan dengan langkah gontai, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Tindakan egoisku ini telah memutus tali persahabatanku dengan Ryan dan aku baru sadar, bahwa aku benar-benar sendiri sekarang ini tanpa Ryan di hidupku lagi. Kuinjak pedal gas dalam-dalam dan kupacu mobilku hingga kecepatan 180 Km/Jam. Namun nahas, mobil yang kukendarai hilang kendali dan menabrak pembatas jalan. Semua gelap dan aku tak sadarkan diri.
***
Dua bulan sudah setelah kejadian kecelakaan malam itu. Kini hidupku gelap. Kornea mataku rusak karena terkena benturan keras sehigga di perlukan donor kornea mata agar aku bisa kembali melihat lagi. Keberadaan Ryan pun tidak pernah aku ketahui lagi. Hanya sesekali Aira datang ke rumah sakit untuk menjengukku. Seandainya waktu bisa diputar dan aku tidak pernah melakukan tindakan bodoh malam itu pasti hal ini tidak akan terjadi; Ryan masih disini, disampingku.
Tuhan memang baik, setelah dua bulan menunggu akhirnya aku mendapatkan donor kornea mata; tanpa aku pernah tahu siapa yang orang yang berhati malaikat itu hingga kini. Ryan benar-benar menghilang. Bahkan saat aku bertanya tentangnya di kampus pun tidak ada yang mengetahuinya. 
“Dik, lo nyari Ryan ya? Ini gue punya sesuatu buat lo”, kata Aira dengan wajah layu.
“Surat?”
“Gue harap lo bisa ikhlas Dik.”
“Ikhlas? Apa yang terjadi Ra?”
“Lo baca aja dulu tulisan Ryan buat lo”, jawab Aira sambil menahan tangis.



“Hey Dik..
Mungkin pada saat lo baca surat ini gue udah pergi. Ada kanker Dik, di kepala gue dan maafin gue karena selama ini gue ga pernah cerita ke lo, maafin juga kalo malam itu gue tonjok pelipis lo sampe biru, dan jujur gue nyesel. Gue makin hancur ketika gue denger kabar lo kecelakaan dan lo ga bisa melihat lagi. Karena itu gue putuskan buat mendonorkan mata gue untuk menebus kesalahan gue malam itu sama lo. Gue mau ketemu sama mama papa, lagipula gue udah cape Dik hidup bersama rasa sakit di kepala gue ini terlebih kemotrapi yang menyakitkan itu udah merontokkan rambut gue, kan gue jadi kalah ganteng dari lo hehe.
Sekarang lo udah bisa ngeliat lagi kan? Gue minta, tolong lo jagain Aira ya. Ternyata dia itu juga sayang sama lo, Dik. Malam itu pas lo udah pergi Aira bilang ke gue kalo dia juga punya perasaan yang sama dengan lo. Lo ga usah cari gue lagi, gue udah punya hidup baru disini dan gue seneng sekarang gue udah jadi bagian dari dunia lo. Lo jaga diri baik-baik ya. Lo sahabat terbaik gue sampai kapanpun. See ya.. sampai ketemu lagi bro! B)”

-Ryan-

Duniaku terasa hancur, bahkan kedua lututku terasa lunglai. Hatiku terkoyak membaca surat terakhir dari Ryan, seperti di rajam ribuan pedang sakitnya. Air mata tak terbendung lagi. Aku berjongkok memeluk lutut, berharap ini merupakan mimpi dan aku ingin segera terbangun dari mimpi ini. Dia sahabat yang tidak hanya menolong hidupku satu kali tapi berkali-kali, bukanlah dia yang seharusnya meminta maaf tapi akulah yang meminta maaf tidak pernah mengerti betapa dia adalah sahabat sejati dalam hidupku, aku terlalu egois, mementingkan keinginanku sendiri.
***
Ryan, terimakasih atas kehidupan kedua yang telah kau berikan melalui matamu ini. Terimakasih pula kau telah memberiku sosok bidadari sempurna ini untukku—Aira. Kini aku telah memiliki satu jagoan kecil, ia mirip sekali denganmu dan aku mengabadikan namamu untuknya. Ryan, ia bukan hanya seorang sahabat yang telah mengajarkanku tentang arti cinta kasih, tentang sebuah pengorbanan dan kehidupan tetapi ia merupakan bagian dari hidupku hingga nanti.
           

Depok, Maret 2013
Wahyu Alviani J