Lanjutan Maaf Yang Terlambat...
Sejak
perkenalan pertama dengan Aira tiga bulan yang lalu, Ryan seperti mendapat
hidup baru. Hubungan mereka semakin dekat dan kudengar mereka sudah berpacaran.
Tak jarang Ryan bercerita tentang hubungan mereka hingga larut malam. Terkadang
ada rasa iri yang terselip dihati, karena Ryan bisa lebih dulu memiliki Aira
sedangkan aku hanya bisa mengikat perasaan ini untuk diriku sendiri.
Aku
berdiri dengan sebelah tangan menggengam ponsel, berusaha melawan statik yang
sedari tadi membuat sambungan telepon putus-putus. Suara Ryan terdengar agak
jauh, putus-putus karena sinyalnya tidak bagus.
“Lo
dimana Dik?” ulang Ryan untuk yang ketiga kali.
“Hah?
Masih di kosan. Kenapa?” aku mengulangi kata itu lagi untuk yang kesekian kalinya.
“Lo
tolong jemput Aira ya, Gue agak sedikit telat nih sampe cafe masih ada jam tambahan di kampus.”
“Oke.”
Jawabku menyanggupi.
Sambungan
terputus.
Honda Jazz-ku
meluncur dengan lincah ke rumah Aira yang terletak di bilangan Jakarta Timur. Aku
sudah hafal jalan menuju rumah Aira karena kami bertiga sering nongkrong bersama. Di pinggir jalan
nampak seorang wanita dengan kostum regulernya; skinny jeans dan blouse peach
lengkap dengan flat shoes kesayangannya.
Aku membunyikan klakson sekali, membuat dia menyipit dengan ekspresi kaget,
lalu bergegas masuk ke dalam mobil.
“Ryan
nyuruh gue jemput lo.” kataku memberi kepastian.
“Iya,
tadi dia udah bilang kok,” sahut Aira.
Jalan ke arah café sangat macet, mungkin
karena ini malam minggu. Untuk mengisi kekosongan, aku memasukkan CD boyband asal Inggris-Irlandia itu ke CD
Player.
“Wah
lo juga suka lagu-lagunya One Direction?” celetuk Aira.
“Iya
lumayan. Hehe.”
Puluhan
mobil lain mengantre di depan lampu merah dan berlomba-lomba melewati kemacetan
kota. Tak terasa, kami sudah memasuki parkiran cafe. Aku memarkir mobil di depan cafe. Ada gejolak hati yang aku rasakan, aku nyaman berada di dekat
Aira.
Kami
memilih tempat duduk yang berada di luar cafe.
Alunan musik klasik dari dalam cafe
membuatku semakin terenyuh bersama dengan perasaan yang berkecamuk di dalam
dada. Sudah empat bulan aku memendam rasa. Mengagumi dari kejauhan dan memasuki
kehidupannya dengan mengendap-endap tanpa ada seorangpun yang tahu—termasuk
Ryan. Aku duduk di depannya, ia memasang senyuman manis untukku, yang kurasa
memang hanya untukku. Lagi, dengan cara mengendap-endap aku mencuri pandang
hanya untuk melihat guratan sempurna garis tangan Tuhan di hadapanku ini.
Matanya, alisnya, hidungnya, dan bibirnya semua terletak pada porsi yang pas,
tutur katanya yang lembut juga membuat aku semakin jatuh hati padanya.
“Lo
mau minum apa Dik?” tanya Aira membuyarkan lamunanku.
“Hah?
Hmm lemon
juice aja”, aku menjawab
sedikit gugup.
Waitress
itu kemudian pergi setelah puas mencatat pesanan kami. Dengan berani aku menggenggam
lembut tangan Aira yang sedari tadi di atas meja. Kemudian mengungkapkan apa
yang seharusnya di ungkapan, belum sempat Aira menjawab pertanyaanku tiba-tiba
aku mendapatkan pukulan tepat di pelipis kananku—pukulan dari Ryan. Seketika
saja aku merasa ada banyak bintang yang berotasi di atas kepalaku.
“Gue
ga nyangka sahabat yang selama ini gue percaya ternyata nusuk gue dari
belakang!”
“Sorry
Ian, gue Cuma ngungkapin yang selama ini gue pendam aja.”
“Pergi
lo sekarang Dik dan nanti malem gue bakal pindah dari kosan kita.”
Aku
berjalan dengan langkah gontai, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Tindakan
egoisku ini telah memutus tali persahabatanku dengan Ryan dan aku baru sadar,
bahwa aku benar-benar sendiri sekarang ini tanpa Ryan di hidupku lagi. Kuinjak
pedal gas dalam-dalam dan kupacu mobilku hingga kecepatan 180 Km/Jam. Namun
nahas, mobil yang kukendarai hilang kendali dan menabrak pembatas jalan. Semua
gelap dan aku tak sadarkan diri.
***
Dua
bulan sudah setelah kejadian kecelakaan malam itu. Kini hidupku gelap. Kornea
mataku rusak karena terkena benturan keras sehigga di perlukan donor kornea
mata agar aku bisa kembali melihat lagi. Keberadaan Ryan pun tidak pernah aku
ketahui lagi. Hanya sesekali Aira datang ke rumah sakit untuk menjengukku.
Seandainya waktu bisa diputar dan aku tidak pernah melakukan tindakan bodoh
malam itu pasti hal ini tidak akan terjadi; Ryan masih disini, disampingku.
Tuhan
memang baik, setelah dua bulan menunggu akhirnya aku mendapatkan donor kornea
mata; tanpa aku pernah tahu siapa yang orang yang berhati malaikat itu hingga
kini. Ryan benar-benar menghilang. Bahkan saat aku bertanya tentangnya di
kampus pun tidak ada yang mengetahuinya.
“Dik,
lo nyari Ryan ya? Ini gue punya sesuatu buat lo”, kata Aira dengan wajah layu.
“Surat?”
“Gue
harap lo bisa ikhlas Dik.”
“Ikhlas?
Apa yang terjadi Ra?”
“Lo
baca aja dulu tulisan Ryan buat lo”, jawab Aira sambil menahan tangis.
“Hey Dik..
Mungkin pada saat lo baca surat ini
gue udah pergi. Ada kanker Dik, di kepala gue dan maafin gue karena selama ini gue
ga pernah cerita ke lo, maafin juga kalo malam itu gue tonjok pelipis lo sampe
biru, dan jujur gue nyesel. Gue makin hancur ketika gue denger kabar lo
kecelakaan dan lo ga bisa melihat lagi. Karena itu gue putuskan buat
mendonorkan mata gue untuk menebus kesalahan gue malam itu sama lo. Gue mau
ketemu sama mama papa, lagipula gue udah cape Dik hidup bersama rasa sakit di
kepala gue ini terlebih kemotrapi yang menyakitkan itu udah merontokkan rambut
gue, kan gue jadi kalah ganteng dari lo hehe.
Sekarang lo udah bisa ngeliat lagi
kan? Gue minta, tolong lo jagain Aira ya. Ternyata dia itu juga sayang sama lo,
Dik. Malam itu pas lo udah pergi Aira bilang ke gue kalo dia juga punya
perasaan yang sama dengan lo. Lo ga usah cari gue lagi, gue udah punya hidup
baru disini dan gue seneng sekarang gue udah jadi bagian dari dunia lo. Lo jaga
diri baik-baik ya. Lo sahabat terbaik gue sampai kapanpun. See ya.. sampai
ketemu lagi bro! B)”
-Ryan-
Duniaku
terasa hancur, bahkan kedua lututku terasa lunglai. Hatiku terkoyak membaca
surat terakhir dari Ryan, seperti di rajam ribuan pedang sakitnya. Air mata tak
terbendung lagi. Aku berjongkok memeluk lutut, berharap ini merupakan mimpi dan
aku ingin segera terbangun dari mimpi ini. Dia
sahabat yang tidak hanya menolong hidupku satu kali tapi berkali-kali, bukanlah
dia yang seharusnya meminta maaf tapi akulah yang meminta maaf tidak pernah
mengerti betapa dia adalah sahabat sejati dalam hidupku, aku terlalu egois,
mementingkan keinginanku sendiri.
***
Ryan, terimakasih atas kehidupan kedua
yang telah kau berikan melalui matamu ini. Terimakasih pula kau telah memberiku
sosok bidadari sempurna ini untukku—Aira. Kini aku telah memiliki satu jagoan
kecil, ia mirip sekali denganmu dan aku mengabadikan namamu untuknya. Ryan, ia bukan
hanya seorang sahabat yang telah mengajarkanku tentang arti cinta kasih,
tentang sebuah pengorbanan dan kehidupan tetapi ia merupakan bagian dari
hidupku hingga nanti.
Depok, Maret 2013
Wahyu
Alviani J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar