Gelegar
petir membangunkan aku dari rentetan sekenario mimpi burukku. Mimpi yang selalu
menarikku kedalam lubang masalalu. Selalu saja mimpi yang sama. Seakan
membentuk suatu alur cerita dengan ribuan episode yang tak kunjung selesai.
Ingin rasanya aku berlari senjauh mungkin, berlari dan terus berlari untuk
melepaskan diri dari jeratan masalalu yang kelam ini. Melangkah ditemani oleh
bayang-bayang masalalu seakan mencambukku dengan tali berduri. Aku lelah Tuhan,
beri aku sedikit saja ruang untuk bernafas.
***
Sore
itu hujan lagi, orang-orang berlalu-lalang mencari tempat untuk berteduh. Suara
Pak Regar masih terngiang ditelinga, gaya bicaranya yang kental dengan aksen
Batak menambah kesangaran wajahnya. Ia merupakan dosen Computer Network. Iya, aku merupakan salah satu mahasiswi yang
berkutat dijurusan IT di salah satu perguruan tinggi negri di Depok. Biasanya
mata kuliah ini berakhir jam 15.00 wib, tapi entah mengapa hari ini beliau
sangat betah didalam kelasku. Mungkin karena banyak penggila jaringan
komputerisasi dikelasku.
Sisa-sisa
tangisan langit masih membekas, dengan hati-hati kuseret kedua kakiku melangkah
menelusuri jalan menuju satu ruangan sempit tempat dimana aku tinggal sekarang.
Rutinitas yang membosankan, berangkat lalu pulang. Mengapa manusia harus hidup
dengan terjadwal? Ya mungkin itu salah satu hal untuk membedakan kaum kami
dengan hewan. Jalanan sangat licin dan genangan air berceceran disetiap lubang
jalan. Hingga akhirnya aku merasa ada sesuatu yang menubrukku begitu keras,
sakit. Gelap.
***
“Hey,
are you fine?”
Samar-samar
kulihat sesosok pria dengan wajah paniknya, namun masih terlihat tampan.
Tercium pula aroma obat-obatan yang sangat menusuk. Rumah sakit, sepertinya aku
disana.
“Gue
kenapa ya? Duh ini kenapa kaki kanan gue ga bisa digerakin gini?”
“Sorry,
tadi ga sengaja mobil gue nabrak lo. Lagian sih lo jalan ga pake tengok
kanan-kiri.”
“Kok
nyalahin gue sih? Lo tuh yang ngendarain mobilnya ngebut ga pake rem, jadi
nabrak gue kan. Huh!”, suaraku mulai meninggi.
“Iya,iya
maaf. Untung lo ga kenapa-kenapa, cuma shock
aja kata dokter. Hmm kaki lo juga cuma kekilir aja kok.”
“Awas
aja yah kalo sampe gue ga bisa jalan, lo gue tuntut!”, jawabku jutek.
“Iya
manis, gue tanggung jawab kok. Percaya deh sama gue, lo gpp”, katanya sambil
menyunggingkan senyuman termanisnya. Kurasa.
“Lo
anak UI juga? Fakultas apa?”, tanyaku dengan emosi yang sudah sedikit mereda.
“Arsitektur,
lo?”
“IT”,
jawabku tak kalah singkat.
“Hmm,
kata dokter lo udah boleh pulang. Gue anter ya, anggap aja sebagai bentuk
penebus dosa.”
“Bukannya
itu sebuah keharusan? Gue nge-kost di daerah Kutek.”
Gemerlap
lampu kota sudah tak nampak lagi, jalanan pun sudah sangat sepi. Aku melihat
sesuatu yang melingkarkan diri dipergelangan tanganku sudah tepat pukul 23.00
wib. Pantas saja hanya cahaya lampu beberapa warung remang saja yang nampak
disisi jalan.
“Hey,
kok diem? Udah sampe nona.”
“Hah?
Oh iya, sorry gue ngelamun hehe.”
“Udah
ga usah mikirin gue gitu ah, sini gue bantu turun”, katanya sambil memapahku
keluar dari mobil.
“Ih
ge-er deh lo, tapi makasih ya”,
kataku sambil melemparkan senyuman.
“Yaudah,
sampai kamar lo istirahat ya. Sampai ketemu besok pagi”, jawabnya seraya pergi
menuju Honda Jazz miliknya.
Akhirnya
aku bisa merebahkan diri diatas kasur sempitku lagi. Kulihat kaki kananku yang
terbalut perban dan gips. Entah mengapa hari ini berjalan sangat aneh, aku
tertabrak dan bertemu dengan lelaki aneh seperti dia tadi yang bahkan aku tidak
tahu namanya siapa. Hey, apa dia bilang? Sampai bertemu besok pagi? Apa dia
akan datang menjemputku? Ah entah lah aku sangat lelah hari ini. Rasa kantuk pun
sudah menyerang, aku rasa ini waktunya untuk pergi kedunia mimpi.
***
Hawa
panas mulai menembus cela-cela selimutku. Samar-samar kubuka mataku dan kugapai
jam weker disamping tempat tidurku. Tepat pukul 7.00 wib, dan aku baru ingat
kalau hari ini ada kelas tepat pukul 8.00 wib. “Mati gue!”, tukasku seraya
mengambil handuk lalu menuju kamar mandi. Kaki kananku cukup menjadi penghalang
kali ini. Setelah siap aku segera memasukkan buku kedalam tas kemudian
berangkat menuju kampus. Sesampainya digerbang kosan ada seseorang yang mengagetkanku.
“Hey
manis, kasian banget jalannya diseret-seret gitu. Bareng gue aja yuk.”
“Heh
lo lagi, ngapain?”, jawabku kesal.
“Kan
gue mau tanggung jawab, gue anter ya. Kita satu kampus ini. Ayo naik.”
“Hmm
yaudah deh, gue juga udah telat”, jawabku singkat sambil masuk kedalam
mobilnya.
“By the way, kita belum kenalan ya? Gue
Ryan, nama lo siapa manis?”
“Please, stop panggil gue dengan embel-embel seperti itu, gue Naya”,
protesku.
“Haha
suka-suka gue dong, tapi emang lo manis kok”, katanya sambil tersenyum.
Seperti
tersengat aliran listrik, mendadak ada sesuatu yang lain dalam tubuhku. Oh
Tuhan, perasaan macam apa ini, rasa yang tak pernah kurasa sebelumnya. Entah
mengapa tiba-tiba pipiku terasa panas. Dan jantung ini berdetak tak beraturan,
seperti ingin keluar dari tempat persembunyiannya. Tatapannya, senyumannya,
semua pada porsi yang pas. Kulitnya yang putih membuat alis matanya yang tebal
nampak lebih nyata. Dia memang tampan, harus kuakui itu.
“Hey,
kok ngelamun sih? Jangan bilang lo terpesona sama gue haha. Udah sampe nih, mau
sampe kapan ngelamunnya hayo?”
“Ih
ngagetin aja, lo ge-er banget sih. Udah ah gue mau turun, thanks.”
“Nanti
pulangnya gue jemput ya Nay. Lo selesai kelas jam berapa?”
“Jam
11.00, udah ya gue telat.”
Pelajaran
Database memang selalu membuat otakku bekerja lebih keras, namun entah mengapa
hari ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan pelajaran yang satu ini.
Sepanjang pelajaran hanya pria itu yang berotasi dipikiranku. Wajahnya,
tatapannya semua tergambar dengan sempurna didalam pikiranku. Ryan, nama yang
keren. Ya, cukup selaras dengan parasnya. Rasa-rasanya aku sudah mulai tertarik
dengan pria yang satu ini, mungkin aku suka.
Tak
terasa sudah 2 jam aku menjelajahi pikiranku sendiri. Dikelas pun hanya tinggal
aku dan segelintir orang yang tertinggal. Lagi-lagi keadaan langit sedang
murung. Aku segera bergegas merapikan buku dan pulang. Dengan pelan-pelan
kuseret kaki kananku yang masih terbalut perban dan gips menuju halaman luar
kampus.
“Hey,
manis. Lama banget, gue udah lumutan nih nunggu lo”, Lagi-lagi suara itu
mengagetkanku
“Lo
lagi, kenapa sih ngagetin gue terus?”, jawabku kesal.
“Sorry, yaudah naik sini. Apa perlu gue bantu?”
“Gue
ga mau bareng lo ah, gue bisa pulang sendiri.”
“Nay,
kan gue janji sama lo buat tanggung jawab sampe lo sembuh. Gue laper nih, lo
juga pasti belum makan kan?”
“Iya
deh gue nurut.”
Honda
Jazz milik Ryan melaju dengan cepat, lagu-lagu dari One Direction menemani
perjalanan kami siang ini. Seperti biasa jalanan didaerah Margonda selalu
padat, ditambah lagi sekarang merupakan jam makan siang. Baik mahasiswa atau
pun karyawan berburu makanan di daerah ini. Bunyi klakson saling bersahutan
dengan suara pengamen jalanan. Sungguh kota yang tak pernah mati.
Diam-diam
kutelurusuri lagi setiap jengkal dari wajahnya, alisnya, matanya, hidungnya,
bibirnya, sampai dagunya membentuk guratan yang sempurna. Sekali lagi harus
kuakui, dia memang tampan. Namun sikapnya yang konyol itu bagiku membuat
kharismanya berkurang hingga 50 persen. Ah entahlah, bisa meledak otakku bila
terus-terusan memikirkannya.
“Hey,
ngapain ngeliatin gue gitu? Naksir loh nanti haha.”
“Apaan
sih lo, orang gue lagi ng.. ngeliatin pengamen itu tuh”, sanggahku sambil
menunjuk pengamen kecil di pinggir jalan.
“Ah
masaa? Udah ngaku aja sih Nay”, Godanya.
“Ngga!”,
Jawabku ketus.
“Hmm,
yaudah deh. By the way keadaan kaki
lo gimana sekarang?.”
“Udah
mendingan sih, Cuma masih agak ngilu aja. Besok juga udah bisa dibuka nih perbannya.”
“Nay,
gue..”
“Lo
kenapa?”
“Gpp
deh. Ini kita udah sampai.”
Dengan
lincah Ryan memarkirkan Jazz miliknya
di area parkir KFC. Kemudian ia turun dan membukakan pintu untukku laksana
permaisuri. Hmm, agak lebay sih.
“Thanks ya, besok ga usah repot-repot
bukain pintu buat gue. Gue bisa sendiri kok.”
“Gpp
kok nona manis, ini kan gue yang mau”, katanya
sambil mengeluarkan tinggah konyolnya lagi.
“Terserah
deh”.
“Lo
makin jutek, makin manis deh. Jadi makin..”
“Udah
deh ga usah aneh-aneh, ayo kita masuk. Gue udah laper nih”
“Oke,
Ladies first.”
Setelah
kami memesan makanan, kuputuskan untuk memilih tempat duduk yang dekat dengan
kaca. Entah mengapa aku suka saja melihat susana diluar sambil menikmati
makanan, apalagi diluar sedang mendung. Pasti sebentar lagi langit akan
memuntahkan cairan tubuhnya ke bumi. Kusadari ada sepasang mata yang sedang menyorotiku
sejak tadi. Sinar mata yang memancarkan rasa yang terpendam, seakan ingin
berteriak untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Ya, mata itu milik Ryan.
Tuhan,
mengapa lagi-lagi rasa ini muncul kembali. Rasa dimana jantungku terasa
berdetak lebih kencang, pipiku terasa panas, dan entah kenapa kursi ini membuat
aku mematung hingga tak bisa kemana-mana. Apa mungkin aku jatuh hati dengan
pria selengean macam Ryan? Padahal
Ryan hanya duduk diam disana. Tapi kenapa aku jadi salting
gini. Absurd.
“Nay,
gue sayang sama lo. Gue ngerasa ada suatu yang lain sejak pertama kita bertemu.”
Dengan
mudah kalimat itu keluar dari mulut Ryan, speehless.
“Nay,
Will you be my gir? I’ll waiting for you
kok”, ucapnya seraya memegang tanganku.
Oh Gosh,
apa yang harus aku perbuat Tuhan? Tatapannya, senyumannya seakan menikamku
sehingga aku tak dapat bergerak. Apa aku harus menerima cintanya? Atau aku
tetap memperjuangkan gengsiku untuk tidak menyukai laki-laki selengean macam dia. That’s very complicated. Bahkan lebih
rumit dari soal-soal algoritma. Ngga, aku harus jujur kalo aku suka sama dia
juga.
“Gue
mau Ian”, jawabku singkat.
“Maksudnya?”
“I wanna be your girl.”
“Makasih
ya Nay, gue seneng lo mau nerima gue. Gue sayaaaaang banget sama lo haha.”
“Udah
ih malu, itu diliatin orang-orang”, jawabku cuek.
“I don’t care, yang penting lo jadi milik
gue sekarang”, katanya sambil menciumi punggung tanganku.
***
Tiga
tahun sudah berlalu setelah kejadian tembak-menembak siang itu, hari ini tepat
hari jadi kami yang ke-3 tahun. Rencananya aku ingin membuat kejutan untuk Ryan
malam ini. Ryan sangat menyukai Tiramisu. Dengan kemampuan seadanya dan hanya
dibantu oleh secarik kertas yang berisi resep yang aku dapat dari internet,
aku memberanikan diri untuk membuat
makanan kesukaan Ryan. Walaupun hasilnya tidak terbentuk dengan sempurna. Dengan
paduan hiasan yang sedikit abstrak dan rasa yang terlalu manis, aku berharap
Ryan menyukai ini. Kemudian kuletakkan hasil buah tanganku itu kedalam kotak
berbentuk hati dengan tutup terbalut pita.
Tepat
pukul 07.00 malam, dengan wajah berseri kulangkahkan kakiku menuju taksi. Rumah
Ryan terletak dibilangan Jakarta Timur. Selama diperjalanan aku selalu
membayangkan wajahnya, dengan harapan
Ryan akan menyukai kejutanku malam ini. Seperti biasa, bukan Jakarta namanya
kalau tidak macet. Alhasil hampir satu jam aku baru sampai didepan rumah Ryan.
Rumahnya nampak sepi, hanya terdengar gemercik air kolam. Dengan sangat antusias kutekan tombol bel di dinding
rumahnya itu berkali-kali, tak lama kemudian Bi Onah salah satu asisten rumah
tangga dirumah ini keluar untuk membukakan aku pintu.
“Eh
Non Naya. Masuk Non.”
“Makasih
ya Bi. Mas Ryan-nya ada?”
“Ada
kok Non di taman belakang, tapi Non..”
“Tapi
apa Bi? Yaudah saya buru-buru nih, saya kesana dulu ya Bi.”
Karena
sudah tidak sabar ingin bertemu Ryan, aku tidak terlalu menghiraukan kalimat Bi
Onah yang terdengar menggantung tadi. Sesampainya aku di taman bukan hanya
sosok Ryan yang aku dapat, tetapi ada sosok seorang perempuan berambut panjang
yang mengenakan dress berwarna pastel,
nampak serasi dengan flat shoes yang
ia kenakan sedang memeluk Ryan.
Seperti
disambar petir, tubuhku seketika tak berdaya. Lumpuh. Tanpa kusadari
bulir-bulir air mata jatuh bersamaan dengan kepingan-kepingan hati yang
berhamburan. Langsung saja aku pergi, tak peduli dengan kejutan yang akan
kuberikan untuk Ryan yang kini telah berhamburan pula di tanah.
“Naya!
Tunggu Nay dengerin penjelasan aku dulu.”
Sayangnya
lari ku tak secepat Ryan, dengan cepat ia menarik tanganku agar aku berhenti.
“Apa
lagi yang mau dijelasin? Aku udah liat semuanya. Tega ya kamu ngelakuin ini dihari
Anniversary kita yang ke-3 tahun. Oiya,
maaf kejutan yang mau aku kasih ke kamu jatuh tadi, hmm itu aku bikin sendiri
loh hehe. Kamu have fun ya sama dia,
kita putus.”
“Nay
tapi itu ga seperti yang kamu lihat, dia mantan aku yang baru pulang dari
Aussie. Aku juga ngga tahu kalo dia bakal peluk aku duluan tadi.”
“Jujur
sama aku, kamu masih sayang kan sama dia?”
“Aku...Aku
gatau Nay, aku sayang kamu tapi..”
“Whatever,
kita putus! Bye”.
***
Masih
terasa hangat ingatan tentang kejadian tiga tahun lalu itu. Namun kini tak
seharusnya aku masih memutar kenangan-kenangan itu kembali. Kenangan yang telah
terkoyak dengan siletan luka yang mendalam. Ketika aku melihat sosok pria
dengan badan yang atletis berpelukan dengan seorang wanita tepat dihari jadi
kami yang ke-3 tahun, dua bulan yang lalu. Sosok pria yang menghiasi hariku
hingga tiga tahun ini telah menghianati aku. Pria yang telah meyakinkan aku
untuk menggantungkan impian dan harapan masa depan bersama. Namun kini dia
sendiri yang telah memupuskan itu semua.
Sakit
memang, tapi ini adalah rentetan sekenario yang telah ditulis Tuhan untukku.
Rasa sakit mengajarkan aku untuk menunggu dengan sabar pembuktian dari Tuhan
bahwa ada kebahagian-kebahagian lain yang telah Dia siapkan nanti. Tak mungkin
ada pelangi tanpa hujan sebelumnya. Seperti Ryan, kehadirannya bagai buliran-buliran
air hujan yang jatuh ke bumi. Hanya sesaat, tetapi meninggalkan goresan
kenangan yang mendalam. Begitupula kebahagiaan, ia datang bagaikan pelangi di
ujung senja; sederhana.
Februari 2013,
Wahyu Alviani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar