Halaman

Just Share What I Want To Share

Selasa, 19 Februari 2013

Pelangi Di Ujung Senja




Gelegar petir membangunkan aku dari rentetan sekenario mimpi burukku. Mimpi yang selalu menarikku kedalam lubang masalalu. Selalu saja mimpi yang sama. Seakan membentuk suatu alur cerita dengan ribuan episode yang tak kunjung selesai. Ingin rasanya aku berlari senjauh mungkin, berlari dan terus berlari untuk melepaskan diri dari jeratan masalalu yang kelam ini. Melangkah ditemani oleh bayang-bayang masalalu seakan mencambukku dengan tali berduri. Aku lelah Tuhan, beri aku sedikit saja ruang untuk bernafas.

***
Sore itu hujan lagi, orang-orang berlalu-lalang mencari tempat untuk berteduh. Suara Pak Regar masih terngiang ditelinga, gaya bicaranya yang kental dengan aksen Batak menambah kesangaran wajahnya. Ia merupakan dosen Computer Network. Iya, aku merupakan salah satu mahasiswi yang berkutat dijurusan IT di salah satu perguruan tinggi negri di Depok. Biasanya mata kuliah ini berakhir jam 15.00 wib, tapi entah mengapa hari ini beliau sangat betah didalam kelasku. Mungkin karena banyak penggila jaringan komputerisasi dikelasku.
Sisa-sisa tangisan langit masih membekas, dengan hati-hati kuseret kedua kakiku melangkah menelusuri jalan menuju satu ruangan sempit tempat dimana aku tinggal sekarang. Rutinitas yang membosankan, berangkat lalu pulang. Mengapa manusia harus hidup dengan terjadwal? Ya mungkin itu salah satu hal untuk membedakan kaum kami dengan hewan. Jalanan sangat licin dan genangan air berceceran disetiap lubang jalan. Hingga akhirnya aku merasa ada sesuatu yang menubrukku begitu keras, sakit. Gelap.
***
“Hey, are you fine?”
Samar-samar kulihat sesosok pria dengan wajah paniknya, namun masih terlihat tampan. Tercium pula aroma obat-obatan yang sangat menusuk. Rumah sakit, sepertinya aku disana.
“Gue kenapa ya? Duh ini kenapa kaki kanan gue ga bisa digerakin gini?”
“Sorry, tadi ga sengaja mobil gue nabrak lo. Lagian sih lo jalan ga pake tengok kanan-kiri.”
“Kok nyalahin gue sih? Lo tuh yang ngendarain mobilnya ngebut ga pake rem, jadi nabrak gue kan. Huh!”, suaraku mulai meninggi.
“Iya,iya maaf. Untung lo ga kenapa-kenapa, cuma shock aja kata dokter. Hmm kaki lo juga cuma kekilir aja kok.”
“Awas aja yah kalo sampe gue ga bisa jalan, lo gue tuntut!”, jawabku jutek.
“Iya manis, gue tanggung jawab kok. Percaya deh sama gue, lo gpp”, katanya sambil menyunggingkan senyuman termanisnya. Kurasa.
“Lo anak UI juga? Fakultas apa?”, tanyaku dengan emosi yang sudah sedikit mereda.
“Arsitektur, lo?”
“IT”, jawabku tak kalah singkat.
“Hmm, kata dokter lo udah boleh pulang. Gue anter ya, anggap aja sebagai bentuk penebus dosa.”
“Bukannya itu sebuah keharusan? Gue nge-kost di daerah Kutek.”
Gemerlap lampu kota sudah tak nampak lagi, jalanan pun sudah sangat sepi. Aku melihat sesuatu yang melingkarkan diri dipergelangan tanganku sudah tepat pukul 23.00 wib. Pantas saja hanya cahaya lampu beberapa warung remang saja yang nampak disisi jalan.
“Hey, kok diem? Udah sampe nona.”
“Hah? Oh iya, sorry gue ngelamun hehe.”
“Udah ga usah mikirin gue gitu ah, sini gue bantu turun”, katanya sambil memapahku keluar dari mobil.
“Ih ge-er deh lo, tapi makasih ya”, kataku sambil  melemparkan senyuman.
“Yaudah, sampai kamar lo istirahat ya. Sampai ketemu besok pagi”, jawabnya seraya pergi menuju Honda Jazz miliknya.
Akhirnya aku bisa merebahkan diri diatas kasur sempitku lagi. Kulihat kaki kananku yang terbalut perban dan gips. Entah mengapa hari ini berjalan sangat aneh, aku tertabrak dan bertemu dengan lelaki aneh seperti dia tadi yang bahkan aku tidak tahu namanya siapa. Hey, apa dia bilang? Sampai bertemu besok pagi? Apa dia akan datang menjemputku? Ah entah lah aku sangat lelah hari ini. Rasa kantuk pun sudah menyerang, aku rasa ini waktunya untuk pergi kedunia mimpi.
***
Hawa panas mulai menembus cela-cela selimutku. Samar-samar kubuka mataku dan kugapai jam weker disamping tempat tidurku. Tepat pukul 7.00 wib, dan aku baru ingat kalau hari ini ada kelas tepat pukul 8.00 wib. “Mati gue!”, tukasku seraya mengambil handuk lalu menuju kamar mandi. Kaki kananku cukup menjadi penghalang kali ini. Setelah siap aku segera memasukkan buku kedalam tas kemudian berangkat menuju kampus. Sesampainya digerbang kosan ada seseorang yang mengagetkanku.
“Hey manis, kasian banget jalannya diseret-seret gitu. Bareng gue aja yuk.”
“Heh lo lagi, ngapain?”, jawabku kesal.
“Kan gue mau tanggung jawab, gue anter ya. Kita satu kampus ini. Ayo naik.”
“Hmm yaudah deh, gue juga udah telat”, jawabku singkat sambil masuk kedalam mobilnya.
By the way, kita belum kenalan ya? Gue Ryan, nama lo siapa manis?”
Please, stop panggil gue dengan embel-embel seperti itu, gue Naya”, protesku.
“Haha suka-suka gue dong, tapi emang lo manis kok”, katanya sambil tersenyum.
Seperti tersengat aliran listrik, mendadak ada sesuatu yang lain dalam tubuhku. Oh Tuhan, perasaan macam apa ini, rasa yang tak pernah kurasa sebelumnya. Entah mengapa tiba-tiba pipiku terasa panas. Dan jantung ini berdetak tak beraturan, seperti ingin keluar dari tempat persembunyiannya. Tatapannya, senyumannya, semua pada porsi yang pas. Kulitnya yang putih membuat alis matanya yang tebal nampak lebih nyata. Dia memang tampan, harus kuakui itu.
“Hey, kok ngelamun sih? Jangan bilang lo terpesona sama gue haha. Udah sampe nih, mau sampe kapan ngelamunnya hayo?”
“Ih ngagetin aja, lo ge-er banget sih. Udah ah gue mau turun, thanks.”
“Nanti pulangnya gue jemput ya Nay. Lo selesai kelas jam berapa?”
“Jam 11.00, udah ya gue telat.”
Pelajaran Database memang selalu membuat otakku bekerja lebih keras, namun entah mengapa hari ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan pelajaran yang satu ini. Sepanjang pelajaran hanya pria itu yang berotasi dipikiranku. Wajahnya, tatapannya semua tergambar dengan sempurna didalam pikiranku. Ryan, nama yang keren. Ya, cukup selaras dengan parasnya. Rasa-rasanya aku sudah mulai tertarik dengan pria yang satu ini, mungkin aku suka.
Tak terasa sudah 2 jam aku menjelajahi pikiranku sendiri. Dikelas pun hanya tinggal aku dan segelintir orang yang tertinggal. Lagi-lagi keadaan langit sedang murung. Aku segera bergegas merapikan buku dan pulang. Dengan pelan-pelan kuseret kaki kananku yang masih terbalut perban dan gips menuju halaman luar kampus.
“Hey, manis. Lama banget, gue udah lumutan nih nunggu lo”, Lagi-lagi suara itu mengagetkanku
“Lo lagi, kenapa sih ngagetin gue terus?”, jawabku kesal.
Sorry, yaudah naik sini. Apa perlu gue bantu?”
“Gue ga mau bareng lo ah, gue bisa pulang sendiri.”
“Nay, kan gue janji sama lo buat tanggung jawab sampe lo sembuh. Gue laper nih, lo juga pasti belum makan kan?”
“Iya deh gue nurut.”
Honda Jazz milik Ryan melaju dengan cepat, lagu-lagu dari One Direction menemani perjalanan kami siang ini. Seperti biasa jalanan didaerah Margonda selalu padat, ditambah lagi sekarang merupakan jam makan siang. Baik mahasiswa atau pun karyawan berburu makanan di daerah ini. Bunyi klakson saling bersahutan dengan suara pengamen jalanan. Sungguh kota yang tak pernah mati.
Diam-diam kutelurusuri lagi setiap jengkal dari wajahnya, alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya, sampai dagunya membentuk guratan yang sempurna. Sekali lagi harus kuakui, dia memang tampan. Namun sikapnya yang konyol itu bagiku membuat kharismanya berkurang hingga 50 persen. Ah entahlah, bisa meledak otakku bila terus-terusan memikirkannya.
“Hey, ngapain ngeliatin gue gitu? Naksir loh nanti haha.”
“Apaan sih lo, orang gue lagi ng.. ngeliatin pengamen itu tuh”, sanggahku sambil menunjuk pengamen kecil di pinggir jalan.
“Ah masaa? Udah ngaku aja sih Nay”, Godanya.
“Ngga!”, Jawabku ketus.
“Hmm, yaudah deh. By the way keadaan kaki lo gimana sekarang?.”
“Udah mendingan sih, Cuma masih agak ngilu aja. Besok juga udah bisa dibuka nih perbannya.”
“Nay, gue..”
“Lo kenapa?”
“Gpp deh. Ini kita udah sampai.”
Dengan lincah Ryan memarkirkan Jazz miliknya di area parkir KFC. Kemudian ia turun dan membukakan pintu untukku laksana permaisuri. Hmm, agak lebay sih.
Thanks ya, besok ga usah repot-repot bukain pintu buat gue. Gue bisa sendiri kok.”
“Gpp kok nona manis, ini kan gue yang mau”,  katanya sambil mengeluarkan tinggah konyolnya lagi.
“Terserah deh”.
“Lo makin jutek, makin manis deh. Jadi makin..”
“Udah deh ga usah aneh-aneh, ayo kita masuk. Gue udah laper nih”
“Oke, Ladies first.
Setelah kami memesan makanan, kuputuskan untuk memilih tempat duduk yang dekat dengan kaca. Entah mengapa aku suka saja melihat susana diluar sambil menikmati makanan, apalagi diluar sedang mendung. Pasti sebentar lagi langit akan memuntahkan cairan tubuhnya ke bumi. Kusadari ada sepasang mata yang sedang menyorotiku sejak tadi. Sinar mata yang memancarkan rasa yang terpendam, seakan ingin berteriak untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Ya, mata itu milik Ryan.
Tuhan, mengapa lagi-lagi rasa ini muncul kembali. Rasa dimana jantungku terasa berdetak lebih kencang, pipiku terasa panas, dan entah kenapa kursi ini membuat aku mematung hingga tak bisa kemana-mana. Apa mungkin aku jatuh hati dengan pria selengean macam Ryan? Padahal Ryan hanya duduk diam disana. Tapi kenapa aku  jadi salting gini. Absurd.
“Nay, gue sayang sama lo. Gue ngerasa ada suatu yang lain sejak pertama kita bertemu.”
Dengan mudah kalimat itu keluar dari mulut Ryan, speehless.
“Nay, Will you be my gir? I’ll waiting for you kok”, ucapnya seraya memegang tanganku.
Oh Gosh, apa yang harus aku perbuat Tuhan? Tatapannya, senyumannya seakan menikamku sehingga aku tak dapat bergerak. Apa aku harus menerima cintanya? Atau aku tetap memperjuangkan gengsiku untuk tidak menyukai laki-laki selengean macam dia. That’s very complicated. Bahkan lebih rumit dari soal-soal algoritma. Ngga, aku harus jujur kalo aku suka sama dia juga.
“Gue mau Ian”, jawabku singkat.
“Maksudnya?”
I wanna be your girl.
“Makasih ya Nay, gue seneng lo mau nerima gue. Gue sayaaaaang banget sama lo haha.”
“Udah ih malu, itu diliatin orang-orang”, jawabku cuek.
I don’t care, yang penting lo jadi milik gue sekarang”, katanya sambil menciumi punggung tanganku.

***
Tiga tahun sudah berlalu setelah kejadian tembak-menembak siang itu, hari ini tepat hari jadi kami yang ke-3 tahun. Rencananya aku ingin membuat kejutan untuk Ryan malam ini. Ryan sangat menyukai Tiramisu. Dengan kemampuan seadanya dan hanya dibantu oleh secarik kertas yang berisi resep yang aku dapat dari internet, aku  memberanikan diri untuk membuat makanan kesukaan Ryan. Walaupun hasilnya tidak terbentuk dengan sempurna. Dengan paduan hiasan yang sedikit abstrak dan rasa yang terlalu manis, aku berharap Ryan menyukai ini. Kemudian kuletakkan hasil buah tanganku itu kedalam kotak berbentuk hati dengan tutup terbalut pita.
Tepat pukul 07.00 malam, dengan wajah berseri kulangkahkan kakiku menuju taksi. Rumah Ryan terletak dibilangan Jakarta Timur. Selama diperjalanan aku selalu membayangkan  wajahnya, dengan harapan Ryan akan menyukai kejutanku malam ini. Seperti biasa, bukan Jakarta namanya kalau tidak macet. Alhasil hampir satu jam aku baru sampai didepan rumah Ryan. Rumahnya nampak sepi, hanya terdengar gemercik air kolam.  Dengan sangat antusias kutekan tombol bel di dinding rumahnya itu berkali-kali, tak lama kemudian Bi Onah salah satu asisten rumah tangga dirumah ini keluar untuk membukakan aku pintu.
“Eh Non Naya. Masuk Non.”
“Makasih ya Bi. Mas Ryan-nya ada?”
“Ada kok Non  di taman belakang, tapi Non..”
“Tapi apa Bi? Yaudah saya buru-buru nih, saya kesana dulu ya Bi.”
Karena sudah tidak sabar ingin bertemu Ryan, aku tidak terlalu menghiraukan kalimat Bi Onah yang terdengar menggantung tadi. Sesampainya aku di taman bukan hanya sosok Ryan yang aku dapat, tetapi ada sosok seorang perempuan berambut panjang yang mengenakan dress berwarna pastel, nampak serasi dengan flat shoes yang ia kenakan sedang memeluk Ryan.
Seperti disambar petir, tubuhku seketika tak berdaya. Lumpuh. Tanpa kusadari bulir-bulir air mata jatuh bersamaan dengan kepingan-kepingan hati yang berhamburan. Langsung saja aku pergi, tak peduli dengan kejutan yang akan kuberikan untuk Ryan yang kini telah berhamburan pula di tanah.
“Naya! Tunggu Nay dengerin penjelasan aku dulu.”
Sayangnya lari ku tak secepat Ryan, dengan cepat ia menarik tanganku agar aku berhenti.
“Apa lagi yang mau dijelasin? Aku udah liat semuanya. Tega ya kamu ngelakuin ini dihari Anniversary kita yang ke-3 tahun. Oiya, maaf kejutan yang mau aku kasih ke kamu jatuh tadi, hmm itu aku bikin sendiri loh hehe. Kamu have fun ya sama dia, kita putus.”
“Nay tapi itu ga seperti yang kamu lihat, dia mantan aku yang baru pulang dari Aussie. Aku juga ngga tahu kalo dia bakal peluk aku duluan tadi.”
“Jujur sama aku, kamu masih sayang kan sama dia?”
“Aku...Aku gatau Nay, aku sayang kamu tapi..”
“Whatever, kita putus! Bye”.
***
Masih terasa hangat ingatan tentang kejadian tiga tahun lalu itu. Namun kini tak seharusnya aku masih memutar kenangan-kenangan itu kembali. Kenangan yang telah terkoyak dengan siletan luka yang mendalam. Ketika aku melihat sosok pria dengan badan yang atletis berpelukan dengan seorang wanita tepat dihari jadi kami yang ke-3 tahun, dua bulan yang lalu. Sosok pria yang menghiasi hariku hingga tiga tahun ini telah menghianati aku. Pria yang telah meyakinkan aku untuk menggantungkan impian dan harapan masa depan bersama. Namun kini dia sendiri yang telah memupuskan itu semua.
Sakit memang, tapi ini adalah rentetan sekenario yang telah ditulis Tuhan untukku. Rasa sakit mengajarkan aku untuk menunggu dengan sabar pembuktian dari Tuhan bahwa ada kebahagian-kebahagian lain yang telah Dia siapkan nanti. Tak mungkin ada pelangi tanpa hujan sebelumnya. Seperti Ryan, kehadirannya bagai buliran-buliran air hujan yang jatuh ke bumi. Hanya sesaat, tetapi meninggalkan goresan kenangan yang mendalam. Begitupula kebahagiaan, ia datang bagaikan pelangi di ujung senja; sederhana.


Februari 2013,

Wahyu Alviani



Tidak ada komentar:

Posting Komentar